Menempatkan Rasa Kagum

07.28


Katamu, ia adalah seseorang yang kamu kagumi.
Karena kemahirannya dalam memerankan karakter-karakter yang menantang. Karakter yang mampu membuatmu ikut merasakan haru biru dari kisah yang coba disampaikannya. Karakter yang membuatmu mampu meluapkan rasa kesal atas ketidakadilan yang menimpanya dalam sebuah layar kaca. Dan segudang alasan lain yang semakin membuatmu jatuh dalam kekaguman.

Katamu, ia adalah seseorang yang kamu kagumi.
Tarian aksaranya mampu membuatmu larut dalam cerita-cerita yang mampu membangkitkan semangat. Mengingatkanmu untuk kembali berdiri dan melangkah maju. Ataukah membuatmu terharu dengan cerita-cerita romantis dengan susunan kata-kata yang khas.

Katamu, ia adalah seseorang yang kamu kagumi.
Kebijakan politiknya sungguh sangat menginspirasimu. Media begitu rajin memberitakan kunjungannya ke wilayah-wilayah negerimu yang masih tertinggal. Tangannya terasa begitu ringan dalam membantu mereka-mereka yang membutuhkan.

Lalu, datang satu hari dimana ia diliput oleh media, menggadaikan agama demi kepentingan dunianya.
Bagaimana kabar rasa kagum mu? Masihkah ia sama?

Lalu datang suatu hari dimana engkau tahu, akhlaknya tak sama dengan apa yang ditulis atau diujarkannya.
Bagaimana kabar rasa kagum mu? Masihkah ia tetap hangat?

Lalu datang suatu hari dimana akhirnya terkuak. Ia mengambil bagian yang bukan merupakan haknya. Ia nafkahi keluarganya dari harta-harta yang bukan miliknya. Ia memberi izin pada kemungkaran-kemungkaran untuk terus menapak bumi. Bagaimana kabar rasa kagum mu? Masihkah tetap terinspirasi?

Ah, terkadang rasa kagum membuat langkah seseorang terhenti. Membuat akalnya berhenti berpikir kritis. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika rasa kagum itu tidak membawa hasil yang bermanfaat. Bukankah rasa kagum itu dapat membuat diri menjadi lebih bersyukur? Bukankah rasa kagum itu dapat menjadi gagasan awal yang kritis dalam menentukan sikap dan menyelesaikan sebuah persoalan?

Bukan. Bukan saya mengatakan padamu untuk tertutup. Terbukalah. Jadilah dirimu sendiri, namun ingatlah, banyak hal di luar sana yang tidak pantas untuk ditiru. Janganlah menumbuhkan rasa kagum, padahal dirimu merasa tak nyaman dengan apa yang engkau pikirkan atau sedang engkau lakukan.

Mengapa tak sebatas kagum akan hal-hal baik yang dilakukan oleh orang lain, alih-alih kepada pribadinya. Dan mengapa tak menempatkan, memantaskan rasa kagum itu hanya pada seseorang yang sangat menginspirasi. Seseorang yang bersamanya, setiap persoalan terasa memiliki solusi yang menentramkan. Yang dengan mencontoh perilaku-perilakunya, akan membawamu pada keberuntungan yang benar-benar nyata. Yang dengan memahami visi misinya, hatimu kan terbakar semangat yang menggelora dan tak ada lagi kata patah semangat dalam hatimu.

Ia lah Rasulullah. Manusia terbaik sepanjang masa. Dimana semua rindu begitu membuncah atas namanya.
Muslim yang lupa dengan diri beliau, suaranya, gerakan tubuhnya, ucapannya, kemampuannya, kebanyakan akan meniru-niru budaya bangsa lain. Dan kepada diri yang seringkali rapuh ini, ingatlah:

Jangan mudah goyah oleh mereka yang tidak memiliki keyakinan.

Salam kebaikan,
Arya

1 komentar

  1. Setuju, Mas Arya. Kekaguman. Ya kita harus berhati-hati menempatkan kekaguman. Kekaguman yang tepat bagi kita khususnya muslim/muslimah adalah pada Rasulullah, uswatun hasanah. Ini tulisan yg menginspirasi dan menggugah kesadaran. Semangat bekarya untuk kebaikan, Mas Arya!

    BalasHapus