Ia adalah Rindu
20.37Cintaku, apa kabarmu hari ini?
Bagaimana kabarmu di sana? Mungkin engkau akan terkejut dengan suratku yang datang tiba-tiba ini. Mungkin saja, tanganmu kan bergetar ketika membacanya. Kau tahu, jemariku pun sama. Mereka bergetar saat menggubah aksara menjadi kata-kata. Bahkan, ketika aku selesai dan melipatnya. Debar jantungku perlahan mereda, seiring merpati yang aku utus mengantar surat ini padamu. Mengepakkan sayap-sayapnya, menjauh dariku. Ah, semoga surat ini tiba tepat waktu padamu.
Ah iya, sudah berapa lama kita tak bertemu? Tiga, atau empat tahun? Maafkan aku... acapkali lupa. Tapi, aku tak akan lupa untuk yang satu ini. Dan maafkan aku, karena sengaja merahasiakannya darimu. Mungkin hari ini aku memberanikan diri tuk mengatakannya padamu. Sekali lagi, kumohan maaf karena selama ini merahasiakannya darimu. Atau mungkin,diriku baru bisa mengatakannya padamu.
Sejak terakhir bertemu denganmu, aku merahasiakan keberadaan seorang gadis kecil yang sekarang menjadi temanku melalui hari-hariku..
Kita, membuatnya dari tiada menjadi ada. Aku, mengandungnya dengan hatiku. Rasa bahagia ini sungguh tak bertepi setelah gadis kecil itu lahir dariku. Karena aku sadar, ia terlahir karena cinta. Cintaku. Cinta kita. Oh iya, gadis itu kuberi nama Rindu. Ya, Rindu, hanya itu. Singkat bukan? Tahukah engkau mengapa? Karena hari itu aku diliputi kerinduan akan dirimu. Rindu, yang perlahan namun pasti merambati seluruh pori nadiku. Tak pernah jemu aku membungkusnya dalam kotak kecil di kepalaku. Kutempa luka dengan bahagia, dan kuwarnai tiap hembusannya. Ya, sederhana saja. Nama itu hadir karena aku merindukanmu..
Tanpa engkau tahu, aku merawatnya. Aku merawatnya dengan penuh cinta dan sayang. Hingga, kini di tiga kali tiga ratus enam puluh lima hari usianya. Ya, Rindu semakin besar. Aku pun tak percaya bahwa ia sudah sebesar ini sekarang. Rindu, sangat mirip denganmu. Ia memiliki senyum yang manis serupa senyummu. Matanya, juga seindah matamu. Sorotnya, mampu melarutkan emosi siapa pun yang menetap. Dan itu, ia warisi darimu. Bibirnya, seperti... seperti milikku. Ya, itu satu-satunya yang kuwariskan untuknya.
Rindu, ia cerdas sepertimu. Gadis kecil yang sangat lucu. Aku ingin engkau tahu, ia tak pernah merengek jika permintaannya tidak aku penuhi. Tak seperti anak-anak lain seusianya. Namun, aku sedikit kerepotan akhir-akhir ini. Ia, selalu saja bertanya tentangmu..
"Bunda, Ayah dimana?"
Kukatakan bahwa pada tiap hujan yang turun, sungguh ada rindumu untuknya..
Ada kalanya aku begitu ingin engkau mampu menyempatkan diri datang kembali. Aku tidak akan menanyakan alasan mengapa engkau baru datang. Aku berjanji, tak akan membuatmu berdiri di depan pintu terlalu lama ketika engkau datang. Datanglah. Tapi, bukan untuk menemuiku. Namun aku harap engkau mampu menemui Rindu. Rindumu. Rinduku. Rindu kita.
Ah, tak terasa aku menulis begitu banyak. Kucukupkan suratku kali ini. Dan kuharap, kedatangan surat ini tidak mengganggumu di sana. Aku selalu berdoa semoga Tuhan menjagamu, menempatkanmu di tempat terbaik di sisiNYA. Oiya, tentang Rindu, jangan pernah engkau khawatir tentangnya. Kan kujaga Rindu untukmu. Istirahatlah dengan tenang di sana, suamiku.
Rindu, ia cerdas sepertimu. Gadis kecil yang sangat lucu. Aku ingin engkau tahu, ia tak pernah merengek jika permintaannya tidak aku penuhi. Tak seperti anak-anak lain seusianya. Namun, aku sedikit kerepotan akhir-akhir ini. Ia, selalu saja bertanya tentangmu..
"Bunda, Ayah dimana?"
Aku hanya bisa menjawabnya, sambil mengacungkan telunjukku ke arah langit, dan berkata bahwa engkau ada di sana, di atas awan.."Sedang apa ayah di sana?"
Ku katakan padanya, bahwa engkau, ayahnya, sedang membangun istana terindah untuknya. Untukku. Untukmu. Untuk kita bertiga.."Apakah Ayah rindu padaku?"
Kukatakan bahwa pada tiap hujan yang turun, sungguh ada rindumu untuknya..
Ya, hanya itu yang bisa kukatakan, tiap kali ia bertanya tentangmu. Menutup pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibir kecilnya, dengan sebuah kecupan di kepalanya..Sejak itu, Rindu begitu senang akan hujan. Jika mendung telah menghiasi langit, dengan tak sabar ia menanti tetes pertama hujan membasahi bumi. Ia selalu duduk di dekat jendela, memandang keluar, sembari bibir kecilnya komat-kamit menghitung tiap rintik yang jatuh. Sepanjang hujan yang turun, tak sedikitpun ia bergerak dari tempatnya duduk. Ia merasa takut tuk kehilangan setetes rindumu. Karena setiap kali hujan turun, ia berpikir engkau, ayahnya, sedang merindukannya.
Ada kalanya aku begitu ingin engkau mampu menyempatkan diri datang kembali. Aku tidak akan menanyakan alasan mengapa engkau baru datang. Aku berjanji, tak akan membuatmu berdiri di depan pintu terlalu lama ketika engkau datang. Datanglah. Tapi, bukan untuk menemuiku. Namun aku harap engkau mampu menemui Rindu. Rindumu. Rinduku. Rindu kita.
Ah, tak terasa aku menulis begitu banyak. Kucukupkan suratku kali ini. Dan kuharap, kedatangan surat ini tidak mengganggumu di sana. Aku selalu berdoa semoga Tuhan menjagamu, menempatkanmu di tempat terbaik di sisiNYA. Oiya, tentang Rindu, jangan pernah engkau khawatir tentangnya. Kan kujaga Rindu untukmu. Istirahatlah dengan tenang di sana, suamiku.
[connoisseurs memoriam]
6 komentar
wow... kasihan Rindu.. -_-
BalasHapusbang arya bagus ceritanya...^^ merinding :D
BalasHapusmenikmati tiap katanya :)
BalasHapuskereenn !
Hmm, tulisan ini bikin saya meleleh. :3
BalasHapusHuaaaaa....
BalasHapuscoretan yang bermakna.. ^^
T_T *ma'af.. no coment.
BalasHapus