Film Pendek di Pagi Hari
07.53Hari masih sangat pagi sekarang. Masih kurasakan dingin dari sisa-sisa pekatnya langit semalam. Kulihat Ra masih terlelap di pembaringannya, sedikit gemetar karena tak ada selimut yang mampu melindunginya dari dingin. Tak ada selimut yang menemaninya melewati malam...
Tak lama di kejauhan, kumandang adzan pun memecah keheningan. Lantunan melankolis itu pun menggema, menyebar melodi yang selalu mencipta haru dan semangat secara bersamaan. Kembali kupandangi Ra, tersenyum, lalu kudaratkan kecup hangat di keningnya. Maafkan ayahmu sayang, belum bisa memberi banyak untukmu. Rumah kita ini, ayah mencoba menjadi sosok arsitek ketika membangunnya untukmu. Meski, hanya berupa tumpukan kardus yang coba ayah susun sedemikian rupa agar mampu terlihat bak istana di matamu. Meski, hanya berupa lembaran-lembaran seng hasil pemberian orang, namun ayah harap mampu menjadi ruang spesial untukmu. Juga, belum ada kasur empuk yang bisa kamu gunakan sebagai alas tidurmu. Meski begitu, ayah akan terus berusaha untukmu. Membahagikanmu... Membuatmu tersenyum... Harus!
Hari masih sangat pagi memang. Dan selalu begitu, kumulai kegiatanku sesaat setelah adzan subuh berkumandang. Aku harus mampu memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Semakin banyak barang yang bisa kukumpulkan, semakin banyak yang bisa kusetor untuk didaur ulang, semakin banyak pula uang yang bisa kukumpulkan untuk membiayai anakku. Aku sangat ingin melihatnya bersekolah. Aku selalu membayangkan, suatu hari ia berlari kecil menghampiriku. Rambut ikalnya menari-nari riang, mengikuti langkah riang kakinya yang beralaskan sepatu baru. Sembari bercerita pengalaman yang ia dapatkan di sekolah. Ah, aku sangat ingin itu terjadi.
"Ayah, mau kemana? Rara ikut ya?" tiba-tiba engkau terbangun, masih mengucek-ngucek matamu.
Aku tak ingin engkau ikut nak.
Aku tak ingin engkau merasakan rintangan yang ayah hadapi setiap harinya. Aku tak ingin sampai engkau berhadapan dengan petugas keamanan, yang dengan penuh ego memberi label pada kita, terlanjur meyakini bahwa kita layaknya sampah yang harus disingkirkan.
Aku tak ingin engkau merasakan fisikmu ditarik-tarik dengan paksa oleh satpol PP, diangkut secara paksa di atas mobil bak terbuka. Aku tak ingin engkau merasakan "teror" yang tak seharusnya kita dapatkan manakala kita berada di "istana" mereka. Hujatan, sumpah serapah, dan sikap-sikap tak ramah lainnya dari mereka-mereka yang memandang kita rendah. Aku tak ingin engkau merasakan luapan emosi mereka, yang hanya bisa marah-marah tanpa sedikitpun memberi saran akan solusi yang lebih baik. Sungguh, aku tak ingin engkau merasakan semua itu, anakku...
"Sudah.. Ra jangan ikut ya. Memulung di tempat sampah itu tidak baik untukmu. Biar ayah saja yang pergi. Ayah tak akan lama, setelah ashar, ayah akan sampai di rumah lagi."
"Ayah janji?" Engkau masih seperti tidak rela ditinggalkan.
"Iya, Ra main di sini saja. Kalau lapar, tuh masih ada singkong sisa kemarin. Ra habiskan saja ya. Ayah tadi sudah makan sedikit. Insya Allah cukup menahan lapar ayah sampai sore."
"Ayah bawa saja. Nanti kalau capai bagaimana? Rara tidak apa-apa kok."
"Tapi, ayah juga tidak mau kalau Ra tidak makan."
"Pokoknya ambil ayah. Rara ngambek kalau tidak." Kamu mencoba membujuk ayah dengan wajah yang sengaja engkau tekuk itu.
"Kita bagi saja ya. Sebagian untuk ayah, sebagian untuk Ra. Supaya kita sama-sama tidak lapar. Bagaimana?"
Sedetik kemudian, engkau tersenyum mengiyakan..
Tak lama di kejauhan, kumandang adzan pun memecah keheningan. Lantunan melankolis itu pun menggema, menyebar melodi yang selalu mencipta haru dan semangat secara bersamaan. Kembali kupandangi Ra, tersenyum, lalu kudaratkan kecup hangat di keningnya. Maafkan ayahmu sayang, belum bisa memberi banyak untukmu. Rumah kita ini, ayah mencoba menjadi sosok arsitek ketika membangunnya untukmu. Meski, hanya berupa tumpukan kardus yang coba ayah susun sedemikian rupa agar mampu terlihat bak istana di matamu. Meski, hanya berupa lembaran-lembaran seng hasil pemberian orang, namun ayah harap mampu menjadi ruang spesial untukmu. Juga, belum ada kasur empuk yang bisa kamu gunakan sebagai alas tidurmu. Meski begitu, ayah akan terus berusaha untukmu. Membahagikanmu... Membuatmu tersenyum... Harus!
Hari masih sangat pagi memang. Dan selalu begitu, kumulai kegiatanku sesaat setelah adzan subuh berkumandang. Aku harus mampu memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Semakin banyak barang yang bisa kukumpulkan, semakin banyak yang bisa kusetor untuk didaur ulang, semakin banyak pula uang yang bisa kukumpulkan untuk membiayai anakku. Aku sangat ingin melihatnya bersekolah. Aku selalu membayangkan, suatu hari ia berlari kecil menghampiriku. Rambut ikalnya menari-nari riang, mengikuti langkah riang kakinya yang beralaskan sepatu baru. Sembari bercerita pengalaman yang ia dapatkan di sekolah. Ah, aku sangat ingin itu terjadi.
"Ayah, mau kemana? Rara ikut ya?" tiba-tiba engkau terbangun, masih mengucek-ngucek matamu.
Aku tak ingin engkau ikut nak.
Aku tak ingin engkau merasakan rintangan yang ayah hadapi setiap harinya. Aku tak ingin sampai engkau berhadapan dengan petugas keamanan, yang dengan penuh ego memberi label pada kita, terlanjur meyakini bahwa kita layaknya sampah yang harus disingkirkan.
Aku tak ingin engkau merasakan fisikmu ditarik-tarik dengan paksa oleh satpol PP, diangkut secara paksa di atas mobil bak terbuka. Aku tak ingin engkau merasakan "teror" yang tak seharusnya kita dapatkan manakala kita berada di "istana" mereka. Hujatan, sumpah serapah, dan sikap-sikap tak ramah lainnya dari mereka-mereka yang memandang kita rendah. Aku tak ingin engkau merasakan luapan emosi mereka, yang hanya bisa marah-marah tanpa sedikitpun memberi saran akan solusi yang lebih baik. Sungguh, aku tak ingin engkau merasakan semua itu, anakku...
"Sudah.. Ra jangan ikut ya. Memulung di tempat sampah itu tidak baik untukmu. Biar ayah saja yang pergi. Ayah tak akan lama, setelah ashar, ayah akan sampai di rumah lagi."
"Ayah janji?" Engkau masih seperti tidak rela ditinggalkan.
"Iya, Ra main di sini saja. Kalau lapar, tuh masih ada singkong sisa kemarin. Ra habiskan saja ya. Ayah tadi sudah makan sedikit. Insya Allah cukup menahan lapar ayah sampai sore."
"Ayah bawa saja. Nanti kalau capai bagaimana? Rara tidak apa-apa kok."
"Tapi, ayah juga tidak mau kalau Ra tidak makan."
"Pokoknya ambil ayah. Rara ngambek kalau tidak." Kamu mencoba membujuk ayah dengan wajah yang sengaja engkau tekuk itu.
"Kita bagi saja ya. Sebagian untuk ayah, sebagian untuk Ra. Supaya kita sama-sama tidak lapar. Bagaimana?"
Sedetik kemudian, engkau tersenyum mengiyakan..
####
BIIIIIIIIIIIIIPPPPPPP! Aku dikagetkan oleh klakson mobil milik seseorang yang sedang tak sabar. Mungkin sedang terburu-buru ingin ke tempat kerjanya. Kulihat lampu lalulintas sudah menunjukkan warna hijau memang. Kembali kupandangi kalian. Aku begitu bersyukur atas sebuah film pendek yang kalian pertontonkan untukku di penghujung fajar tadi. Aku begitu bersyukur bisa sedikit menguping percakapan kalian yang penuh cinta itu. Untuk ayah dan anak yang tak kutahu siapa nama kalian, untuk kalian yang masih terus berjuang meski sempitnya keadaan seringkali mencoba meruntuhkan semangat, semoga Allah senantiasa bersama kalian.
Tersenyum, lalu perlahan kupacu motorku meninggalkan seseorang yang tak sabar tadi. Aku pun sangsi apakah ia melihat adegan kecilmu tadi, wahai pemulung yang penuh hangat.. Harapku, berpendar bersamaan dengan mentari yang malu-malu menunjukkan parasnya, semoga rejekimu ditambahkanNYA untuk hari ini dan esok-esok hari. Terima Kasih.
Tersenyum, lalu perlahan kupacu motorku meninggalkan seseorang yang tak sabar tadi. Aku pun sangsi apakah ia melihat adegan kecilmu tadi, wahai pemulung yang penuh hangat.. Harapku, berpendar bersamaan dengan mentari yang malu-malu menunjukkan parasnya, semoga rejekimu ditambahkanNYA untuk hari ini dan esok-esok hari. Terima Kasih.
kadang kita seringkali lupa, ada saudara kita, yang senantiasa berjuang melewati harinya, melakukan segala kerja keras demi kehidupan kecil mereka. Lalu, kita sendiri bagaimana?
17 komentar
kadang kita terlalu memikirkan diri sendiri kawan ..
BalasHapussuka buang2 makanan , padahal di sekitar kita ...
untuk makan saja perlu perjuangan keras ..
syukur itu kini dan nanti...
BalasHapusyaa.. kita selalu luput dari karunia Tuhan yang tak henti-hentinya datang, meminta terlalu banyak, tidak pernah merasa cukup. nice write kak arya ^^ pelajaran banget
BalasHapusAkhirnya kubaca juga cerpen disini..
BalasHapuscerita penuh hikmah...
jika mau bersabar dan istiqomah, insya Allah lembar demi lembar kardus bisa menjelma menjadi sebuah istana untuk Rara
subhanallah baru pertma kali baca crpen di lapak ini lngsung terharu :).
BalasHapusweitzzzz abang nulis cerpen,..makin ciamik sja untaian katanya...
BalasHapushanya bisa tersenyum mas arya, karena itu memang ada disekitar kita, terlebih lagi saat hubungan manusia dikalahkan oleh hawa nafsu. bisa jadi anak tersebut tidak dikasih makan dan dianggap merepotkan. Semoga rizky selalu terlimpah kepada kita semua. Amiin
BalasHapusPenulis sepertinya menyampaikan pesan kepada kita agar bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah dan juga memperhatikan orang-orang di sekeliling yang memerlukan uluran tangan kita.
BalasHapusYah, cerpen yang bagus mas.
Berhasil membawa pembaca larut ke dalam cerita.
#Terharu :)
Salam semangat, mas ^^
lamma2 aku rajin kesini hehhe
BalasHapusbagus crtinya, perlunya manusia bersyukur dgn harap bisa merasakan apa yang mereka tak pernh merasakan.
BalasHapuseh tulisan komntrku aneh y?
Tpi smw mengandung hikmah didalam kisah ini.
luar biasa.!
BalasHapussaya suka diksinya. :)
Sekilas Info ^_^:
BalasHapusMusik Mother-Seamo nya udah saya download mas, tapi kalao untuk HTML belum tahu gimana caranya.
Mau masukin ke blog tadinya :)
Trima kasih info linknya mas :)
BalasHapusTapi saya bingung bagaimana masukin kodenya ke HTML.
Kalo musik2 yg lalu, ada kodenya begitu.
Begini lah kalau masih gagap teknologi ^^
subhanalloh, sebuah cerpen perdana yang mengharukan.jadi tersadarkan, betapa beruntungnya saya, betapa banyak nikmat NYA yang telah di beri. semoga kita dan semua saudara2 di luar sana dimurahkan rezekinya, dilapangkan kahidupannya dan dipermudah dalam bersyukur dan beramal sholih, aamiin.
BalasHapusAyah, apa semua ayah seperti ini ayah?
BalasHapus:O
kisah yang mengharukan.
BalasHapussaya hanya sedikit terbingungkan oleh penggantian sudut pandang sang ayah pada anaknya dari "dia" menjadi "kamu". hehe.
nikmatilah hidup ini dengan selalu bersyukur...
BalasHapuspasti hidup ini akan terasa indah.
:D