Teladan Rasulullah di Saat Genting

01.58




Force Majuere. Teman-teman pernah mendangar kata itu? Jujur, saya juga baru mendengarnya lho... Nah, kata Om Google sih, force majuere atau keadaan kahar itu suatu keadaan yang di luar prediksi, terjadi tanpa bisa dicegah dan berpotensi merusak atau mengancam sebuah usaha atau pekerjaan sehingga tak mungkin untuk diteruskan lagi. Terus katanya lagi, biasanya di dalam setiap perjanjian kerja sama selalu dicantumkan klausul tentang keadaan luar biasa ini sebagai antisipasi kalau-kalau dalam masa kerja sama ternyata terjadi. Jika benar-benar terjadi, maka ada klausul-klausul pemaaf yang memberikan dispensasi, kelonggaran-kelonggaran, perpanjangan waktu, dan bentuk-bentuk kemudahan lainnya.

Hmmm... Artinya, force majuere itu bencana dong? Betul.. Katanya Om Google, bentuk force majuere itu beragam. Bencana alam, huru-hara, gempa bumi, kebakaran, hingga peperangan. Secara logika sih, keadaan-keadaan seperti tadi sangatlah wajar kalau perlu adanya suatu kelonggaran.

Jadi ingat suatu kisah, kejadian hijrahnya Rasulullah SAW..
Menurut kisah, suasana menjelang hijrah Rasulullah adalah saat yang genting. Mengapa? Karena hampir setiap saat jiwa Rasulullah selalu terancam. Kaum Musyrikin Quraisy ingin menghentikan dakwah yang dilakukan beliau. Tak ada cara lagi, selain membunuh Rasulullah.. (Wuih, sadis!!). Maka setiap malam, setiap siang, setiap saat mereka mengintai Rasulullah dengan maksud kalau dapat menjumpainya di suatu tempat yang sunyi, maka lelaki itu akan dibunuh. Pada saat dakwah Nabi kepada orang-orang yang berhaji di Mina misalnya, beliau dilempari batu dan pasir, dihina, dicaci-maki.



Bahkan malam ketika Rasulullah hendak hijrah ke Madinah, sepasukan pemuda perkasa dan para ketua kabilah musyrikin Makkah mengepung rumah beliau dengan senjata terhunus. Apalagi kalau bukan mengincar nyawanya? Bukankah ini adalah keadaan force majuere yang nyata? Keadaan genting yang jelas-jelas mengancam jiwa, dimana kemudahan pada situasi ini wajar diterima?

Tetapi, itulah bedanya Rasulullah SAW, sang pemimpin umat manusia. Pada keadaan terjepit seperti itu, beliau mampu menolak pemberian gratis Abu Bakar berupa seekor unta sebagai tunggangan. Padahal Abu Bakar adalah sahabat dekatnya yang terpercaya, kepada dirinya Rasulullah biasa bertukar pikiran. Sangatlah wajar jika pada situasi seperti ini beliau mendapatkan bantuan. Tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Beliau hanya mau menerima unta itu dengan jual beli dan bukan semata hadiah. Itu berarti, Nabi memikirkan efek jangka panjang dalam dakwah jika saja beliau menerima hadiah unta itu dari Abu Bakar, meski lelaki itu adalah sahabat terdekatnya sekalipun.

Haidah, bagaimanapun, bisa memicu perasaan keharusan untuk membalas budi justru karena ia adalah sesuatu yang secara sukarela diberikan seseorang pada orang lain tanpa kompensasi. Dan itu sungguh tidak baik untuk jalannya dakwah.


Yang kedua, beliau pun masih sempat berpesan kepada Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan barang-barang yang dititipkan kepada beliau. Sungguh, ini adalah akhlak yang luar biasa! Seorang yang tajamnya pedang sudah teracung di lehernya masih sempat memikirkan untuk menunaikan amanah yang diberikan orang lain kepadanya.

Di tengah merebaknya kasus-kasus Gratifikasi (istilah hadiah di jaman modern ini, namun kebablasan) yang menimpa banyak pejabat saat ini, juga banyaknya amanah yang diabaikan dengan alasan keterpaksaan atau keadaan darurat, maka teladan Rasulullah SAW saat hijrah ke Madinah di atas agaknya layak kita ambil sebagai pelajarang yang berarti..

Sumber Referensi : Buku Jejak-Jejak Surga Sang Nabi; karya Bahtiar HS


0 komentar