Media Sosial & Rasa Syukur yang Hilang

07.10



Media sosial, dengan beragam kosakata yang tersemat, rasanya telah menjadi bagian dari keseharian sebagian kita. Jarak tak lagi menjadi hambatan dalam penyampaian informasi. Bahkan, ia telah menjadi bagian dari budaya yang tersemat pada label-label tertentu, berujung pada termasuknya seseorang ke dalam "grup generasi modern"

Namun, benarkah seperti itu?

Pengalaman saya beberapa waktu yang lalu memberikan sebuah hiposesis sederhana, bahwa media sosial dengan segala "rasa modern"nya ternyata berperan dalam hilangnya sesuatu dalam diri seseorang. Hal abstrak yang menjadi petanda iman seseorang kepada Rabbnya. Hal yang seringkali terlupakan oleh "generasi modern" saat ini.

Seperti kebiasaan sebelum-sebelumnya, hari itu adalah waktu ketika saya harus memenuhi salah satu kewajiban umat muslim. Bergabung bersama deretan-deretan manusia lainnya, membelah pagi dalam usaha untuk menjemput rejeki-rejeki yang telah dipersiapkanNya. Ya, waktu tuk bekerja.

Roda dua pun berjalan menelusuri liuk-liuk aspal yang sudah menjadi rute biasa untuk menuju kantor. Namun ada yang berbeda di hari itu. Entah mengapa, ingin rasanya saya mencoba jalan yang tak biasa. Dan akhirnya dalam satu per puluhan ribu detik loncatan zat-zat kimia di otak, saya pun berbelok. Masuk ke dalam sebuah kompleks perumahan. Setelah menyapa petugas keamanan di gerbang depan, roda dua berjubah merah itu pun akhirnya membawa saya menelusuri kompleks perumahan.

Hingga saya melihat sebuah lahan lapang dengan ilalang yang tumbuh liar, tinggi, belum tersentuh tajamnya pisau mesin pemotong rumput. Ada satu pohon besar dengan ranting-ranting yang menyebar berdiri tegap di tengah-tengah lapangan. Sinar matahari pagi yang merekah, jatuh tepat di tubuh sang pohon. Menimbulkan efek bayangan yang indah menurut saya.

Saya menepikan kendaraan, bergegas untuk mengambil telepon genggam, terpikir untuk mengabadikan pemandangan indah itu ke akun instagram. Merogoh saku celana, dan saya tersadar bahwa telepon genggam yang saya miliki saat itu adalah sebuah telepon genggam biasa yang tidak mampu terkoneksi dengan internet. Ya, beberapa minggu sebelumnya, smartphone yang saya miliki jatuh dan rusak. Niat untuk "memamerkan" pemandangan itu pun batal.

Siluet keindahan pohon akhirnya saya nikmati langsung, menggunakan sepasang indera penglihatan titipanNya. Selang beberapa waktu, sebuah kesadaran pun hadir di pikiran saya. Mengingat niatan untuk "pamer" di media sosial tadi. Rasanya ada sesuatu yang salah, karena hal pertama yang saya ingat ketika menikmati pemandangan indah itu adalah akun instagram, alih-alih Sang Pencipta yang telah begitu berbaik hati menciptakan keindahan itu tanpa dipungut biaya sepeser pun.

Bukankah akan lebih baik ketika yang pertama kali saya lantunkan adalah rasa syukur? Bukankah akan lebih bermakna ketika yang pertama kali saya ingat adalah kebesaranNya? Dimana saya tempatkan Allah kalau begitu? Bukankah IA adalah yang Utama, di atas segala-galanya? Bahkan dalam urusan ber-Sosial Media.

Pikirku, media sosial memang sebuah pencapaian yang luar biasa dalam meringkas jarak terkait penyampaian informasi. Namun, ia juga memiliki jarum-jarum kecil yang tersembunyi. Yang ketika kita tidak hati-hati dalam melangkah, akan menusuk dan menimbulkan luka. Mari bijak dalam menggunakan teknologi. Dan tak layak rasanya mengagungkan hal-hal kecil yang kita anggap besar, dibanding kebesaranNya yang benar-benar nyata.

Media sosial sebaiknya terus "memamerkan" kebesaran-kebesaranNya. Ataukah terus melantunkan bait-bait penuh kesyukuran. Bukannya kian hari makin mengikis kita dari salah satu tanda keimanan seorang hamba. Bukankah upah bagi yang beriman, adalah ridha Rabbnya? Masihkah membutuhkan selain itu?

Salam,
@TerasIngatan

3 komentar

  1. Sya mengerti maksud @TerasIngatan. Iya,sya melihat dengan kecanggihan Hp android, orang sangat mudah menggunakan medsos dalam keseharian hidupnya, mengabadikan momen dalam hidupnya. Adakalanya saya menilai orang2 yang dikit2 update status atau foto terbaru dalam medsos-nya tanpa sadar terjangkit penyakit pamer. Esensi untuk menghayati atau merenungi momen yang tengah dihadapi terkikis, dan lebih mempertimbangkan “lihat nih yang sedang aku alami hari ini”. Ya, memang kecanggihan teknologi ada sisi manfaat dan ada sisi negatifnya bila tak bijak menggunakannya. Tugas masing2 kita untuk selalu merefresh pikiran dan hati kita agar tak diperdaya oleh hawa nafsu kita.

    BalasHapus
  2. selalu tulisan ry buat tth terkesima! Teruslah jadi pengamat yang mendekat pada 'Taat' ^^

    Btw backsoundnya ky meteor garden ya?? xixixii..
    inget mantan (Jerry Yan) wkwkwk...

    BalasHapus