Untuk Esok Yang Lebih Baik

16.49


Aku mengerjap, memastikan bahwa tubuhku masih tetap berada di ruangan yang sama. Sungguh aku tak mengerti, apa yang harus kulakukan. Beberapa saat yang lalu, aku masih bersama mereka. Mendengarkan lantunan asma-asma Allah, dari bibir-bibir yang memendam harap akan dosa yang melebur bersama haru. Melihat tunduk pasrah seorang renta, mengamati huruf demi huruf, baris demi baris, sembari melantunkan nada hati lewat lembaran-lembaran tuntunan hidup dariNYA. Memendam senyum, pada derap langkah kaki-kaki mungil yang berlarian tanpa peduli tatapan-tatapan marah yang tertuju pada mereka. Asyik, dengan  tingkah mereka sendiri.

Dan kini? Aku tak tahu dimana diriku berada.
Sesaat lalu, seakan semesta mendistorsi dirinya, menembakkan proton pada titik-titik kurva waktu yang saling berpotongan. Mencipta lorong waktu yang melontarkanku ke ruang aneh ini. Tak ada lagi hamparan permadani berwarna hijau satin yang menjadi alas. Tak lagi kulihat manusia-manusia tadi. Namun aneh, lantunan asma-asma Allah itu masih terdengar dengan jelas di telingaku. Derap kaki-kaki mungil itu? Masih mampu kurasakan gelombangnya lewat sungutku. Namun tanya masih bersahabat, akan dimana diri ini berpijak...

Butuh beberapa waktu hingga akhirnya aku tersadar, aku masih di masjid ini. Tak lama, memoriku pun mulai mampu beradaptasi, menampilkan siluet jemari yang membuatku terhempas selepas adzan isya tadi. Ya,  pria paruh baya dengan rambut yang mulai bertransformasi warna itulah yang membuatku harus memijak punggung pada bumi. Membuatku harus meredam sakit, demi sebentuk keegoisan yang tidak kutahu sebabnya. Dan kini pria itu telah berdiri, untuk dua rakaat sebelum shalat isya di malam keempat Ramadhan kali ini. Menghiraukanku, yang sedang bersusah payah melawan gravitasi untuk kembali memijakkan kaki-kakiku pada bumi.

Sendiri... Kuberjuang.
Mengerakkan kaki-kakiku ke berbagai arah. Mengepakkan sayapku sekencang-kencangnya. Membuatku berputar-putar, namun tetap tak mampu merayu gravitasi tuk membalikkan tubuhku. Turbulensi yang tercipta, hanya mampu mengangkat tuk menjatuhkanku kembali... Kuulang sekali lagi... Sekali lagi... Sekali lagi... Hingga sejenak rasa putus asa menghampiri. Tapi, haruskah aku terus memijak dengan punggungku? Sampai kapan? Bukan tak mungkin pria paruh baya itu sekali lagi berniat menghempaskanku selepas dua rakaat yang dia kerjakan. Kembali ku kobarkan semangatku. Kuulang sekali lagi... Sekali lagi... Sekali lagi... Dan baru pada kali ketujuh aku berhasil membalikkan tubuhku. Peluh membanjiri tubuh. Nafas bergerak tak beraturan. Lelah... Aku sudah kembali memijak bumi dengan kakiku. Sekarang, yang perlu kulakukan adalah melangkah sedikit demi sedikit, menjauh dari pria itu...


Wahai serangga kecil. Tahukah engkau aku melihatmu berjuang kala itu? Aku, belajar akan kerja keras darimu malam itu. Ah, shalat isya akan segera dimulai. Sungguh, terima kasih untuk sekian detik pelajaran hidup yang engkau berikan. Akan kubawa sekian detik itu untuk  menghiasi detik-detikku selama menjalani Ramadhan ini. Berharap, akan esok yang lebih baik.

5 komentar

  1. Sesaat lalu, seakan semesta mendistorsi dirinya, menembakkan proton pada titik-titik kurva waktu yang saling berpotongan.

    Matiii gueee matiii! kentara sekali banyak bacanya :))

    BalasHapus
  2. Inspirasinya bisa jadi kecoa seperti yang dikatakan teman di atas, mungkin juga benda terbang yang lain. =D

    BalasHapus
  3. Kata-kata sederhana bisa dibuat indah oleh mas Arya.
    Terlihat juga menguasai Sains.
    ^_^

    Mencoba mengamati tulisannya saja :)

    BalasHapus
  4. subhanalh..
    sya ska kta2ny k'.. indh.. :)
    pun dgn tulsnny.. hehe..

    BalasHapus