SUDAHKAH (berusaha) MEMANTASKAN DIRI?
00.55taken from here |
Pernah suatu ketika, di tengah sepinya malam, lidah lirih menggumamkan doa-doa. Menghujani langit malam dengan pinta-pinta yang kita tujukan padaNYA. Tentang pertemuan dengan sebuah nama yang mampu menampung kubangan rindu-rindu kecil yang selama ini mengalir riang. Tentang penyesalan mendalam yang pada akhirnya mengantarkan pada cahaya yang selama ini dicari. Ataupun tentang rindu yang begitu ingin dijejakkan pada sebuah kota yang pada 12 Rabiul Awal ratusan tahun lalu telah melahirkan seorang sosok panutan yang begitu amat mulia.
Ya, pernah.
Pernah suatu ketika, di saat mentari pagi berlari riang mengejar awan, kaki-kaki kita masih dengan sabar duduk bersimpuh, mewarnai langit dengan doa-doa serta puji-pujian yang hanya untukNYA. Mencoba merayu langit agar menggetarkan dawai-dawai yang menghubungkan kita dengan yang tertulis di lauhul mahfudz. Tentang mimpi-mimpi masa depan yang ingin ditarik mendekat. Tentang kesulitan-kesulitan yang ingin dimudahkan dan ditunjukkan jalan keluarnya. Ataupun tentang kesembuhan bagi dua malaikat yang telah menjaga kita selama ini.
Ya, pernah.
Pun pernah suatu ketika, dalam diam, terbisik keinginan agar buah-buah hati yang telah dititipkanNYA mampu dituntun agar menjadi pribadi yang membanggakan. Yang senantiasa melandaskan hatinya pada Qur'an. Yang senantiasa menjaga hati orangtua lewat tingkah lakunya dan tutur kata yang santun. Yang senantiasa memadamkan bibit penyakit hatinya lewat air wudhu.
Pun pernah suatu ketika, dalam sebuah majelis ilmu yang membahas tentang perilaku sabar, sejenak hati terketuk pada kilasan kenangan di masa-masa sebelumnya. Saat amarah begitu mudah menguasai. Saat sikap mudah menyerah adalah teman yang selalu memusuhi hati. Dan hati pun berbisik lirih, "Aku ingin menjadi pribadi yang sabar..."
Ya, pernah.
Namun, dalam laku kita yang selama ini meminta padaNYA, sudahkah kita menyelipkan tanya, tentang sejauh apa usaha yang kita lakukan agar doa-doa yang selama ini menghujani langit mampu sampai hingga teras istanaNYA? Sudahkah kita menyelami lautan nurani dan bertanya sedalam apakah keikhlasan yang mengiringi proses-proses pembelajaran kita selama ini? Sudahkah kita bercermin, melihat tingkah-tingkah selama ini dari sudut pandang yang berbeda, dan menemukan kunci yang mampu membuka pintu keragu-raguan? Sudahkah kita menambah perbendaharaan ilmu, agar tiap tanya yang menggenang mampu mengalir perlahan dan bertemu dengan jawabannya?
Mungkin terasa lama kita meminta padaNYA. Namun, belum juga dipertemukan dengan apa yang diminta. Pertanyaannya, sudahkah kita memantaskan diri?
Ya, pernah.
Pun pernah suatu ketika, dalam diam, terbisik keinginan agar buah-buah hati yang telah dititipkanNYA mampu dituntun agar menjadi pribadi yang membanggakan. Yang senantiasa melandaskan hatinya pada Qur'an. Yang senantiasa menjaga hati orangtua lewat tingkah lakunya dan tutur kata yang santun. Yang senantiasa memadamkan bibit penyakit hatinya lewat air wudhu.
Pun pernah suatu ketika, dalam sebuah majelis ilmu yang membahas tentang perilaku sabar, sejenak hati terketuk pada kilasan kenangan di masa-masa sebelumnya. Saat amarah begitu mudah menguasai. Saat sikap mudah menyerah adalah teman yang selalu memusuhi hati. Dan hati pun berbisik lirih, "Aku ingin menjadi pribadi yang sabar..."
Ya, pernah.
Namun, dalam laku kita yang selama ini meminta padaNYA, sudahkah kita menyelipkan tanya, tentang sejauh apa usaha yang kita lakukan agar doa-doa yang selama ini menghujani langit mampu sampai hingga teras istanaNYA? Sudahkah kita menyelami lautan nurani dan bertanya sedalam apakah keikhlasan yang mengiringi proses-proses pembelajaran kita selama ini? Sudahkah kita bercermin, melihat tingkah-tingkah selama ini dari sudut pandang yang berbeda, dan menemukan kunci yang mampu membuka pintu keragu-raguan? Sudahkah kita menambah perbendaharaan ilmu, agar tiap tanya yang menggenang mampu mengalir perlahan dan bertemu dengan jawabannya?
Mungkin terasa lama kita meminta padaNYA. Namun, belum juga dipertemukan dengan apa yang diminta. Pertanyaannya, sudahkah kita memantaskan diri?
Arya.
Tangerang, 01.06.2014
"Berdoa, bukanlah perkara terkabulkan dengan cepat atau tidak.
Pikirku, ia adalah perkara seberapa keras usaha dan seberapa sabar laku dan pikiran untuk memantaskan diri memetik hasilnya.."
2 komentar
Benar. Saya setuju dg anda. Doa tak cukup dipanjatkan, namun jg diiringi ikhtiar 'ntuk mewujudkan.
BalasHapusdeh, yang di Tangerang :p
BalasHapus