Mal dan Transformasi Rasa
02.08
Jika diperhatikan lagi, pembangunan ruang-ruang publik yang bersifat komersil sedang marak di kota-kota kita di Indonesia (di Makassar juga woii). Dan bahkan bertransformasi menjadi sebuah tren baru dalam bisnis properti. Contohnya adalah sebuah pusat perbelanjaan. Hadir, bertebaran di beberapa titik penting pusat-pusat aktivitas utama kota. Bangunan-bangunan ini hadir, menawarkan tempat bersantai, berkumpul, dan berbelanja dengan suasana baru yang katanya mampu menjamin rasa aman dan nyaman para pengunjungnya. Hakikat ruang publik kota sebagai ruang terbuka dan tempat berkumpul warga secara gratis perlahan-lahan berubah menjadi ruang publik yang tertutup, dibatasi oleh bidang-bidang masiv, dan tentunya berbayar.
Pembangunannya pun seringkali tidak memperhatikan kondisi lingkungan sekitar dan tidak diimbangi dengan pertumbuhan infrastruktur yang seharusnya mampu mendukung. Kehadirannya menimbulkan keterpusatan aktivitas. Jumlah pusat perbelanjaan yang semakin meningkat, berdampak pada perubahan pola mobilitas warga kota. Tingginya laju aktivitas kendaraan yang menuju ataupun meninggalkan pusat-pusat perbelanjaan menimbulkan kemacetan lalu lintas di wilayah sekitarnya. Belum lagi jika dikaitkan dengan desain pusat-pusat perbelanjaan yang seringkali melupakan pengunjungnya yang datang dengan berjalan kaki atau menggunakan angkutan umum.
Seharusnya, ruang publik adalah sebuah ruang yang berfungsi mewujudkan keseimbangan hidup warga kotanya. Ruang publik, seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta bersahabat bagi segala jenis kondisi fisik manusia yang menggunakannya. Ruang publik, pada dasarnya dibutuhkan untuk menyeimbangkan kehidupan masyarakat kota yang heterogen, karena beraktivitas di ruang publik akan menimbulkan kebersamaan tanpa menghilangkan perbedaan.
Pusat perbelanjaan, walaupun dijadikan sebagai tempat bertemu, meskipun terbuka untuk umum, namun ia tetap bersifat privat. Karena pada dasarnya diperuntukkan untuk masyarakat yang memiliki kemampuan membeli bukan? Yah, ujung-ujungnya kita berbicara soal uang.
Pembangunannya pun seringkali tidak memperhatikan kondisi lingkungan sekitar dan tidak diimbangi dengan pertumbuhan infrastruktur yang seharusnya mampu mendukung. Kehadirannya menimbulkan keterpusatan aktivitas. Jumlah pusat perbelanjaan yang semakin meningkat, berdampak pada perubahan pola mobilitas warga kota. Tingginya laju aktivitas kendaraan yang menuju ataupun meninggalkan pusat-pusat perbelanjaan menimbulkan kemacetan lalu lintas di wilayah sekitarnya. Belum lagi jika dikaitkan dengan desain pusat-pusat perbelanjaan yang seringkali melupakan pengunjungnya yang datang dengan berjalan kaki atau menggunakan angkutan umum.
Seharusnya, ruang publik adalah sebuah ruang yang berfungsi mewujudkan keseimbangan hidup warga kotanya. Ruang publik, seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya serta bersahabat bagi segala jenis kondisi fisik manusia yang menggunakannya. Ruang publik, pada dasarnya dibutuhkan untuk menyeimbangkan kehidupan masyarakat kota yang heterogen, karena beraktivitas di ruang publik akan menimbulkan kebersamaan tanpa menghilangkan perbedaan.
Pusat perbelanjaan, walaupun dijadikan sebagai tempat bertemu, meskipun terbuka untuk umum, namun ia tetap bersifat privat. Karena pada dasarnya diperuntukkan untuk masyarakat yang memiliki kemampuan membeli bukan? Yah, ujung-ujungnya kita berbicara soal uang.
Ada satu hal yang sangat menarik, yang membedakan antara pusat perbelanjaan dengan ruang publik sesungguhnya. Di dalam pusat perbelanjaan, tak pernah kita temukan pengemis, gelandangan, pengamen, ataupun pedagang kaki lima seperti ketika kita berkunjung ke alun-alun kota, lapangan, dan taman-taman kota bukan? Ya, bagi pusat perbelanjaan, mereka adalah orang-orang yang tidak diharapkan kehadirannya. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap kepekaan jiwa sosial seseorang. Dengan ketidakhadiran mereka, ditambah dengan kecenderungan untuk selalu beraktivitas di sana, kita secara tidak langsung dibutakan terhadap realitas kehidupan yang sebenarnya ada dan terjadi di sekitar kita. Kita hanya dipertontonkan terhadap hal-hal yang sifatnya senang-senang saja, bahkan hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Melupakan, bahwa di luar sana masih banyak masyarakat yang harus berjuang membanting tulang dan memeras keringat, berjuang menghadapi kehidupan. Akibatnya, jurang pemisah antar masyarakat semakin besar. Kita lupa akan kata "tolong menolong". Pun kita lupa akan kata "kepedulian". Pola pikir terbentuk hanya untuk membeli dan selalu membeli atau hanya sekadar mengejar "citra". Kepekaan rasa, perlahan diubah menjadi sesuatu yang mampu dibeli dengan materi. Materialisme pun berkembang, menjadi candu.
Mengkonsumsi. Hanya ini pertunjukan yang menarik bagi para pemuja bangunan ini. Toh hanya ini hiburan yang tersedia. Hari ini, esok, lusa, seminggu kemudian, yang ada hanya kegiatan mengkonsumsi. Apakah para pemuja itu tak sadar identitas mereka sedang dilucuti secara perlahan? Dibutakan oleh gemerlap dunia konsumerisme lewat iklan dan pembentukan "citra"? Atau, karena mereka tidak memiliki hiburan lain? Pertunjukan ini akan berlangsung sampai kapan? Apakah pada akhirnya kita akan menerima kenyataan bahwa pusat perbelanjaan telah menggantikan ruang publik kota?
###
3 komentar
nyatanya di kota-kota besar pusat perbelanjaan kian hari bertambah banyak, apakah karena tuntutan untuk memenuhi kebutuhan bagi konsumen yg semakin meningkat, dan kenyataan pula di kota-kota besar ruang publik semakin sedikit seperti di jakarta ..nice post :), pak arsitek apa kabar?
BalasHapusPembangunan yang mengajarkan warganya untuk semakin konsumtif di tengah hidup yang makin sulit :(
BalasHapusNice posting, Arya
I do love this post.... the best of you ever
BalasHapus