Berhenti Sejenak

12.48



Pukul 08.00 pagi hari, sekitar seminggu yang lalu..
Aku, dengan tergesa-gesa melangkahkan kaki, keluar untuk menghampiri si Aalto yang menunggu dalam diam di sana. Dalam genggaman, dua buah benda berwarna hitam pudar dan sedikit bertekstur itu menyatu dalam lingkaran dari sebuah gantungan yang dihadiahkan temanku dalam kunjungannya beberapa tahun yang lalu ke negeri tetangga. Tertulis jelas di sana, melingkar menyesuaikan dengan bentuknya, Kuala Lumpur Malaysia. Namun tak lagi ada menara Petronas yang terkenal itu di sana. Ia telah hilang, entah kemana..

Salah satu kunci itu pun kupilih, memasukkannya ke dalam kotak starter si Aalto. Dia pun meraung, mengeluarkan bunyi khasnya, yang mungkin akan meninggalkan kesan pada siapa saja yang mendengarkan waktu itu, memberi pesan, bahwa ia belum meneguk minuman bernutrisi dengan label astra miliknya selama lebih dari dua bulan belakangan ini.. Lalu, dengan ucapan basmalah, aku dan Aalto pun keluar dari kotak garasi rumahku itu. Bersama motor produksi tahun 2006 itu pun kumulai ceritaku hari itu..

Menyusuri jalan selebar 5 meter di kompleks rumahku, aku harus memacu motor itu dengan kecepatan yang di luar kebiasaanku selama ini. Pelan...Lamban.. Hanya 30 km/jam.. Ya, kusadari pagi itu, jalan kecil itu harus dengan susah payah menanggung beban pengguna-pengguna yang dengan angkuh berjalan di atasnya. Motor-motor lain dengan liukan-liukannya, bergerak tanpa memperhatikan keselamatan pengguna jalan yang lain, mobil-mobil yang memamerkan keangkuhan lewat klaksonnya kepada tukang becak yang dengan lamban berjalan di depannya, yang setelah kulewati mobil itu baru kusadari mengapa becak di depannya berjalan lamban. Ruang duduk berukuran kecil itu disesaki dua orang wanita yang jika ku analogikan dengan ukuran baju, mereka adalah ukuran XL. Dengan angkuhnya mereka memaksa tukang becak yang mungkin telah berumur sekitar 53 tahun itu mengayuh becaknya, mengantar mereka ke ujung jalan. Tidak salah jika ku katakan mereka pengguna jalan yang angkuh bukan?


Ujung jalan kecil itu pun kugapai. Mengantarkanku ke jalan lain, yang kali ini lebih ramai dan ribut dari jalan kecil tadi. Ya, jalan utama yang ramai seperti biasanya pada hari kerja seperti hari itu. Dalam benakku, terbayang wajah dosenku, dengan kumisnya yang tebal, dengan kacamata yang bergantungan di kepalanya yang kini tak lagi dipenuhi dengan rambut masa mudanya yang bergelombang, yang katanya membuat para gadis meliriknya, dulu... Bercerita kepada pegawai tata usaha, sembari beberapa kali melirik jam tangan yang dibelinya dari Jepang itu dan bergumam, "dimana mahasiswa yang mau asistensi denganku hari ini?".

Ya, hari itu aku memiliki janji dengan dosenku, terkait kegiatan asistensi untuk tugas akhir yang sementara ini sedang kujalani. Tugas akhir yang jika sukses kulewati, aku pun bisa keluar dari kampus kebanggan di Indonesia bagian timur ini, dan mengumandangkan kepada publik, bahwa aku sudah jadi ST (baca: Sarjana Teknik atau bisa kalian menyebutnya Arsitek). Hohoho..

Kupacu dengan cepat si Aalto. Melewati beberapa titik kemacetan di Makassar, yang semakin bertambah banyak seiring perkembangan kota itu sendiri. Beberapa kali aku bersinggungan dengan emosi akibat liukan-liukan liar dari kendaraan dengan dua roda penggerak yang lain.  Beberapa kali pula ku menghadapi ekspresi ketidaksabaran yang terwujud lewat lengkingan klakson mobil-mobil mewah dan maaf, old fashion yang menghiasi wajah kota Makassar saat ini, padahal lampu lalu lintas itu baru menunjukkan warna hijaunya hanya sekitar sepersekian detik. Ah! sedikit terpengaruh dengan kondisi itu, kuperlambat laju motorku. Berjalan pelan menyusuri jalan lain, yang di sampingnya terdapat kanal, yang membentang selebar 5 meter. Kulihat beberapa anak kecil yang riang gembira dan tanpa busana, dengan berani menceburkan badannya, yang menurut perhitungan kasat mataku tak lebih dari semeter, ke kanal itu. Padahal ketinggian air di kanal itu tidak lebih dari tinggi badan mereka. Begitu banyak kritikan yang terlintas di benakku kepada lima orang anak kecil yang mungkin sedang bolos sekolah itu. Tapi, tingkah mereka pada akhirnya membuatku melempar senyum , meski kutahu mereka tidak memperhatikanku. Sampai ketika ku menawarkan diri hendak memotret mereka. Sedikit melupakan liukan ular dan lengkingan klakson sebelumnya..



Akhirnya ku sampai juga di kampusku yang dipenuhi dengan pohon-pohon besar yang hijau dan menduhkan itu. Kuarahkan Aalto menuju area khusus yang ketika engkau bertanya kepada mahasiswa-mahasiswa yang duduk di bawah pohon sembari berdiskusi di sana, engkau akan mengetahui bahwa itulah jurusan Arsitektur, tempatku mendalami ilmu saat ini. Ku parkir motor itu, dan dengan sedikit berlari, ku menaiki 4 anak tangga untuk kemudian sampai di pintu gerbang jurusanku itu. Memandang ke kanan, lorong yang bisa disesaki hingga 3 orang itu menghadirkan pemandangan seperti biasanya. Mahasiswa-mahasiswa yang duduk jongkok sembari menyalakan pematik apinya, membakar gulungan nikotin yang dikeluarkannya dari kotak kertas berlabel Class Mild miliknya. Tak jauh dari mereka, baru saja seorang mahasiswa muncul dari ruangan, yang kutahu itu adalah rungan dengan papan kecil di atasnya, menunjukkan tulisan 108C. Dari gerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri, serta kebingungan dan ketegangan yang terpancar dari wajahnya, kutahu dia pasti sedang mencari mahasiswa lain yang dia kenal untuk menghadiri seminar judul (kami menyebutnya kolokium) miiknya. Dan di ujung sana, terlihat seorang dosen sedang mengajar, sembari membetulkan letak kacamatanya yang tebal itu, dan dibelakangnya kudapati beberapa mahasiswa yang menguap lebar. Entah karena mata kuliahnya yang membosankan, ataukah akibat dari begadang mereka semalam..

Melihat ke arah yang lain, ke arah kiri, sebuah tangga putar menjadi vocal point pandanganku kali ini. Di sampingnya, terdapat ruang khusus bagi pegawai tata usaha. Ruangan dimana segala urusan administrasi kami dilakukan di situ. Sedikit menyipitkan mata, memandang menembus kaca yang menempel di ruangan itu, kudapati sosok yang kukenal itu. Pria berkumis tebal, serta kacamata yang bergantungan di kepalanya yang tak lagi berambut itu ada di sana. Bercerita dengan diiringi tawanya yang menggelegar kepada pegawai tata usaha yang juga ikut tertawa bersamanya. Betapa suatu kebetulan yang mengherankan. Sesuai dengan imajiku di jalan tadi. Tak kusiakan kesempatan ini. Kuhampiri beliau, sembari menyodorkan laporan tugas akhirku yang akan jadi bahan corat-coret beliau itu, sembari tersenyum, dan mengutarakan niat hendak asistensi..

Selepas itu, ku duduk, ikut meramaikan celoteh-celoteh ringan teman-temanku yang lain, di area kosong di depan ruangan tata usaha itu. Area khusus bagi kami untuk bersosialiasi, membahas tentang mata kuliah, mengisi KRS dengan sedikit kepanikan disebabkan besok adalah hari terakhir pengumpulannya, tempatku membagi ilmu software 3 dimensi yang ketika kubagi, akan terlontar berbagai pertanyaan akibat rasa penasaran dari "murid-murid" ku... Area yang kami kenal dengan sebutan Hall Arsitektur itu, area yang penuh cerita memang. Memandang kepada teman-teman yang dengan asyik bercanda di sana, ku teringat kembali cerita yang kulalui hari itu bersama Aalto ku..

Dengan kecepatan yang dibatasi oleh bunyi berisik body motorku yang sedikit terlepas, akibat kejadian beberapa tahun lalu yang mengharuskan Aalto untuk terbaring terluka di jalan raya itu, kulalui jalan-jalan tadi. Ku hanya bisa melihat dengan fokus ke depan. Kejadian-kejadian serta apa yang ada di samping kiri kananku hanyalah sebatas visual yang hanya bisa kunikmati sejenak saja. Semua berlalu begitu cepat.. blur.. tersamar.. Sedikit berbeda ketika ku memacu motor dengan kecepatan yang lebih lamban. Terlihat dengan jelas segerombolan anak kecil yang dengan riang bermain di kanal. Terlihat dengan jelas seorang ibu yang dengan sedikit emosi memarahi anaknya yang nakal itu ketika menyuapinya dengan makanan, yang dengan melihatnya, dapat kupastikan keadaan ekonomi mereka sedikit sulit. Terlihat dengan jelas, ciptaanNYA berupa pepohonan yang, jika kutelusuri dari ilmu arsitektur yang kudalami, tak bisa kujawab, bagaimana desainNYA itu bisa sampai mempengaruhi rasaku.. Terlihat dengan jelas, kucing yang dengan sabar menunggu makanan pemberian dari orang-orang yang sedang menyantap makan pagi mereka di salah satu warung bubur ayam yang sering kelewati itu..



Hidup... terkadang kita terlalu cepat bergerak di dalamnya. Hingga kita melupakan hal-hal yang berarti di sekitar kita. Kusadari, kita perlu sekedar berhenti sejenak.. Siapa tahu dengan begitu kita bisa mendapatkan sedikit senyuman.. Sedikit pengingat akan memori-memori masa lalu yang intim.. Sedikit imajinasi akan apa yang akan kita lakukan di masa depan, melihat keadaan orang lain di sekitar kita.. Atau, sedikit ilmu yang dititipkan melalui berbagai ciptaanNYA yang tersebar di bumi ini, mengajak kita untuk kembali mengingat dan bermesraan denganNYA, menggantungkan semua doa dan harapan, hanya padaNYA..

Arya Poetra
10/12/2011. sejenak merenung untuk memaknai

15 komentar

  1. Kehidupan memang selalu berjalan, tapi tidak ada salahnya kita berhenti sejenak bertafakur serta menata hati untuk perjalanan selanjutnya...

    BalasHapus
  2. Iya.. Setuju kang... Berhenti untuk milhat sekitr kita :)

    BalasHapus
  3. @kak Insan dan Selvi:

    Sangat sepakat! Ketika semuanya terasa berat.. Ketika logika tak mampu lagi mencari jawaban atas kisah ujian dariNYA, tak ada salahnya kita perlu berhenti sejenak.. Menata hati.. :)

    BalasHapus
  4. Dengan berhenti sejenak, Insya Allah kita dapat lebih mampu memaknai indahnya hidup pemberian dari sang Maha Indah.. dan berharap semoga kita dapat lebih mampu mensyukuri segala Anugerah dariNya...
    ^_^

    Nice post kak... sukkaaaa...^_^

    BalasHapus
  5. @Rusdah:
    Terima kasih sudah mampir.. Sekali lagi sepakat dengan pendapatmu! :)

    Tadinya mau masukkan foto jurusanku, tapi waktu itu saudara kita yang kebagian tugas piket membersihkan mungkin lagi capek.. Jadi sedikit kotor. Hahaha.. :D

    BalasHapus
  6. bertama pertama kali

    suka banget sama2 kata2 terakhirnya, tapi jangan sampe terlena dan kelamaan berhentinya ya ka' Arya, cz waktu terus bergulir tanpa meikirkan kesiapan setiap mahluk untuk menjalaninya.
    semangaaaaaaaaaaaaat

    BalasHapus
  7. nice...terkadang kita perlu berhenti sejenak melihat di sekitar kita, menata hati dan kemudian kembali berjalan merancang masa depan...keep writing nice post arya..sellau ada renungan di ruangan ini.

    BalasHapus
  8. @RimA:
    welcoooomeee... Betul! jgn terlalu lama berhentinya. Nanti nda kebagian makna hidup.. :)
    Makanya cuma berhenti sejenak... Hehe..

    @Kak Tia:
    Menata hati, pekerjaan yang harus terus dilakukan ya kak. Meski terkadang banyak duri yang menghalang.. Namun, di situlah keindahan prosesnya. :)
    Renungan yang ngajak galau. Hahaha.. Syukran kunjungannya kak.

    BalasHapus
  9. wuihhh postingan ini,..bisa dibilang cerita mewakili 'cover' blogmu bang...

    sejenak memaknai...
    ada hal yang butuh sepersekian waktu untuk termaknai
    ada hal menyangkut 'Ketuhanan' yang bukan sejenak tapi meminta banyak waktu untuk termaknai
    ada hal menyangkut 'Kehidupan' yang bisa termaknai lewat rongga 'hatimu' rasakan...sebenarnya hidup punya bergunung2 'ilmu'

    haddeh ngomong ape aku ni^_^

    BalasHapus
  10. @Uty:
    Sang Master sudah angkat bicara.. Wkwkwk..

    Iya, ada hal yang butuh sepersekian wajtu tuk dimaknai.. Pribadi ini pun punya pengalaman terkait hal tersebut. Ada satu kalimat, yang baru bisa kumaknai secara dalam setelah menghabiskan waktu 10 tahun hidupku.. :)

    Terkait hal yang menyangkut "Ketuhanan", sepakat lagi. Bahkan Allah sendiri yang memintanya kan.. ^^

    Merasakan dengan hati.. Memaknai lewat tindakan..

    BalasHapus
  11. Assalamu'alaikum salam kenal
    bLOgnya menarik Uy.....

    HEMMM berasa mendalami hihii yah hidup memng cepat apalgi yg tak pernah merasakan kesingkatannya itu dgn waktu yg sia2....

    BalasHapus
  12. Wa'alaikumsalam.
    Salam kenal juga buat teh Anee..

    Tak pernah merasakan kesingkatannya?

    BalasHapus
  13. ayooo semangat... skripsi mesti kelar. biar gak ada beban ortu, he

    BalasHapus
  14. @Mas Rusydi:
    Siap laksanakan abang! Ya, salah satu kewajiban kita.. Dan harapan mereka tentu. :)

    BalasHapus