Ya, karena Islam tidak menyukai sikap ikut-ikutan. Maka keteladanan membutuhkan ilmu agar dapat menyampaikan pembelajaran tentang kebaikan-kebaikan sesuai tuntunan Al-Qur'an. Dengan ilmu, keteladanan dapat menyentuh perasaan, mendidik jiwa, serta membangkitkan semangat. Dan sebaik-baik pemimpin dan keteladanannya adalah Rasulullah Muhammad, juga para sahabat beliau.
Keteladanan membutuhkan sebuah kesadaran.
Tersebutlah seorang ayah, yang tidak memiliki ilmu atas cara membaca Al Qur'an yang benar. Hafalan pun masih terbatas pada surah-surah pendek yang umum. Ia memiliki seorang anak yang telah menghafal 7 juz. Dan suatu ketika, di shalat berjamaah yang kesekian bersama ayahnya, sang anak pada akhirnya risih mendengar bacaan Qur'an sang ayah yang kurang tepat. Maka, apakah sang ayah masih bisa berharap memberikan teladan yang baik ketika wibawa beliau telah berkurang di mata anaknya?
Sang Ayah pun sadar akan kesalahannya. Ia belum melaksanakan sepenuhnya tanggung jawab dalam mendidik dan memberikan teladan yang baik. Maka ia duduk berhadapan dengan sang anak. Mengutarakan kekurangan-kekurangan beliau selama ini dalam mendidik sang anak, serta memohon maaf untuk semuanya. Sang anak pun tergugah akan kemauan sang ayah untuk memohon maaf kepadanya. Padahal kebanyakan kita, usia dan perasaan akan senioritas menghalangi untuk melakukan sesuatu yang harus dilakukan ketika bersalah, yaitu meminta maaf. Bukankah dalam Islam, meminta maaf adalah sebuah kewajiban ketika bersalah? Tak peduli status sosial dan jabatan seseorang.
Keteladanan dipersiapkan lebih awal.
Marak terjadi tindakan kekerasan antara siswa-siswa kita. Emosi tersulut hanya karena permasalahan yang sepele. Pemerintah telah berulang kali mengubah kurikulum pendidikan di negeri ini, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Kecerdasan hanya terlihat dari nilai dari selembar ijazah.
Hal ini dapat dicegah jika pihak-pihak yang terkait dalam dunia pendidikan di negeri kita memiliki kesadaran bahwa tenaga pengajar harus dipersiapkan terlebih dahulu secara matang. Sama halnya ketika seseorang memutuskan untuk menikah. Apakah menikah itu sebatas disebabkan karena jatuh cinta, memiliki anak, menyekolahkan mereka, menikahkan mereka, menggendong cucu, lalu duduk menunggu jemputan kereta? Rasanya akan lebih indah jika ia memiliki visi misi yang jauh menembus dimensi waktu. Visi dan misi yang berujung pada kehidupan akhirat. Bukankah ketika memutuskan untuk bertamasya, kita telah bersiap-siap sebelumnya? Memasak makanan untuk perbekalan, menyiapkan pakaian yang akan digunakan, dan lain-lain. Begitu pula dengan keteladanan.
Keteladanan tak lupa untuk memiliki adab.
Dan pada akhirnya, keteladanan itu sifatnya menular.
Maka, mari menularkan keteladanan yang baik, yaitu keteladanan Rasulullah Muhammad. Karena sikap, tutur kata, hingga ekspresi beliau adalah sebaik-baik terjemahan Al Qur'an.
@TerasIngatan,
sebuah kesimpulan dari 3 jam seminar bersama Ustadz Budi Ashari
Media sosial, dengan beragam kosakata yang tersemat, rasanya telah menjadi bagian dari keseharian sebagian kita. Jarak tak lagi menjadi hambatan dalam penyampaian informasi. Bahkan, ia telah menjadi bagian dari budaya yang tersemat pada label-label tertentu, berujung pada termasuknya seseorang ke dalam "grup generasi modern"
Namun, benarkah seperti itu?
Pengalaman saya beberapa waktu yang lalu memberikan sebuah hiposesis sederhana, bahwa media sosial dengan segala "rasa modern"nya ternyata berperan dalam hilangnya sesuatu dalam diri seseorang. Hal abstrak yang menjadi petanda iman seseorang kepada Rabbnya. Hal yang seringkali terlupakan oleh "generasi modern" saat ini.
Seperti kebiasaan sebelum-sebelumnya, hari itu adalah waktu ketika saya harus memenuhi salah satu kewajiban umat muslim. Bergabung bersama deretan-deretan manusia lainnya, membelah pagi dalam usaha untuk menjemput rejeki-rejeki yang telah dipersiapkanNya. Ya, waktu tuk bekerja.
Roda dua pun berjalan menelusuri liuk-liuk aspal yang sudah menjadi rute biasa untuk menuju kantor. Namun ada yang berbeda di hari itu. Entah mengapa, ingin rasanya saya mencoba jalan yang tak biasa. Dan akhirnya dalam satu per puluhan ribu detik loncatan zat-zat kimia di otak, saya pun berbelok. Masuk ke dalam sebuah kompleks perumahan. Setelah menyapa petugas keamanan di gerbang depan, roda dua berjubah merah itu pun akhirnya membawa saya menelusuri kompleks perumahan.
Hingga saya melihat sebuah lahan lapang dengan ilalang yang tumbuh liar, tinggi, belum tersentuh tajamnya pisau mesin pemotong rumput. Ada satu pohon besar dengan ranting-ranting yang menyebar berdiri tegap di tengah-tengah lapangan. Sinar matahari pagi yang merekah, jatuh tepat di tubuh sang pohon. Menimbulkan efek bayangan yang indah menurut saya.
Saya menepikan kendaraan, bergegas untuk mengambil telepon genggam, terpikir untuk mengabadikan pemandangan indah itu ke akun instagram. Merogoh saku celana, dan saya tersadar bahwa telepon genggam yang saya miliki saat itu adalah sebuah telepon genggam biasa yang tidak mampu terkoneksi dengan internet. Ya, beberapa minggu sebelumnya, smartphone yang saya miliki jatuh dan rusak. Niat untuk "memamerkan" pemandangan itu pun batal.
Siluet keindahan pohon akhirnya saya nikmati langsung, menggunakan sepasang indera penglihatan titipanNya. Selang beberapa waktu, sebuah kesadaran pun hadir di pikiran saya. Mengingat niatan untuk "pamer" di media sosial tadi. Rasanya ada sesuatu yang salah, karena hal pertama yang saya ingat ketika menikmati pemandangan indah itu adalah akun instagram, alih-alih Sang Pencipta yang telah begitu berbaik hati menciptakan keindahan itu tanpa dipungut biaya sepeser pun.
Bukankah akan lebih baik ketika yang pertama kali saya lantunkan adalah rasa syukur? Bukankah akan lebih bermakna ketika yang pertama kali saya ingat adalah kebesaranNya? Dimana saya tempatkan Allah kalau begitu? Bukankah IA adalah yang Utama, di atas segala-galanya? Bahkan dalam urusan ber-Sosial Media.
Pikirku, media sosial memang sebuah pencapaian yang luar biasa dalam meringkas jarak terkait penyampaian informasi. Namun, ia juga memiliki jarum-jarum kecil yang tersembunyi. Yang ketika kita tidak hati-hati dalam melangkah, akan menusuk dan menimbulkan luka. Mari bijak dalam menggunakan teknologi. Dan tak layak rasanya mengagungkan hal-hal kecil yang kita anggap besar, dibanding kebesaranNya yang benar-benar nyata.
Media sosial sebaiknya terus "memamerkan" kebesaran-kebesaranNya. Ataukah terus melantunkan bait-bait penuh kesyukuran. Bukannya kian hari makin mengikis kita dari salah satu tanda keimanan seorang hamba. Bukankah upah bagi yang beriman, adalah ridha Rabbnya? Masihkah membutuhkan selain itu?
Siapakah yang "melarang" mu untuk memacu kendaraan dengan cepat, meski kala itu engkau sedang terlambat untuk menghadiri sebuah rapat penting. Sebuah rapat yang mungkin menjadi penentu jenjang karirmu di suatu perusahaan untuk beberapa waktu ke depan.
Siapakah yang "menyuruh" mu membeli sesuatu dengan harga yang paling murah, menyisakan sedikit kembalian yang pada akhirnya engkau belikan sebungkus makanan. Untuk seorang bapak tua yang menjajakan jasa memperbaiki sepatu di pingir jalan.
Siapakah yang "meminta" mu berbelok memasuki sebuah gang, padahal tidak ada niatmu untuk menujunya. Pada akhirnya engkau bertemu dengan sebuah lapangan yang dipenuhi dengan anak-anak yang dengan riang gembira bermain layangan. Engkau pun duduk, memperhatikan, menulis sebuah kisah, lalu merasa lapang karena sebelumnya tak ada inspirasi.
Seacak-acaknya setiap kejadian yang ada di bumi ini, itu hanyalah sebatas pemikiran. Tak percayakah engkau bahwa itu semua adalah skenario keteraturan yang disiapkan oleh Allah, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatunya. Sungguh pemberianNya sangatlah banyak. PerlindunganNya terkadang tak kita sadari. Campur tanganNya untuk setiap keberhasilan kita selalu ada.